15 September 1996
Waktu itu saya masih duduk di bangku SD. Pembimbing kami membagikan secarik kertas polos, sepolos saya dan teman-teman saya. Ia mengajak kami untuk melukiskan benda apa yang paling kami sukai, dan apa makna benda itu dalam hidup kami.
Saya sendiri tidak ingat apa yang saya gambar pada kertas saya. Tapi salah seorang sahabat baik saya menggambar sebatang pohon rimbun dengan dedaunan dan buah yang lebat. Ketika ditanya oleh pembimbing apa yang menjadi alasannya untuk menggambar pohon, ia menjawab, "Bagi saya sahabat yang baik itu seperti pohon, Bu. Ia memberikan buah yang enak waktu musim panen. Kalau hari menjadi panas, saya bisa berteduh di bawah pohon. Kadang-kadang, waktu hati saya kepingin marah, sahabat baik saya bisa menenangkan. Soalnya, tidak enak kalau marah di depan dia. Dan pohon juga setia. Walau hari panas atau hari hujan, ia tetap berdiri teguh."
Pembimbing kami tersenyum mendengar jawabannya, lalu menguji, "Kalau cuma berdiri teguh sih, tiang listrik juga bisa. Dan, tiang listrik juga memberi kamu keuntungan. Kenapa kamu tidak gambar tiang listrik saja? Kan lebih mudah."
Waktu itu sahabat saya tidak bisa menjawab.
Hingga kami lepas dari bangku sekolah, dan sepuluh tahun telah lewat. Ketika kesempatan untuk berjumpa semakin langka, namun rasa setia telah berakar. Di sebuah suratnya, ia berkata, "Tiang listrik hanya butuh beberapa hari untuk ditanam. Tetapi sebatang pohon butuh bertahun-tahun. Kalau saya bisa punya lebih dari sebatang pohon, saya tahu pasti bahwa saya adalah orang yang sangat kaya."
Thursday, February 5, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment